Mencari Sisi Humanis Jakarta



Ada yang tahu letak sisi humanis kota Jakarta? semua pasti geleng-geleng kepala. Saya rasa, kita sama-sama pesimis melihat Jakarta sebagai kota yang humanis. Sebab, model pembangunan kota Jakarta tidak pernah mengintegrasikan diri terhadap pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal di negara-negara maju telah menjadikan manusia bagian integral dalam pembangunan kota. Manusia tidak lagi diposisikan sebagai objek dalam pembangunan, melainkan sebagai subjek pembangunan. 

Tegasnya, pembangunan kota harus bersifat partisipatif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam menentukan wajah kotanya sendiri. Dengan kata lain, pemerintah dan swasta bukan lagi pemain tunggal dalam pembangunan kota, melainkan hanya sebagai fasilitator.

Ironisnya, negara ini terlalu giat membangun infrastruktur, tapi lupa membangun manusia. Bagi saya, menjauhkan pembangunan kota dari pendekatan HAM akan menimbulkan ketidakdilan ruang serta struktur sosial dan budaya. Akibatnya akan menimbulkan dampak turunan (derivatif) yang begitu sistematis, terstruktur, dan masif – bahkan secara poradis sekalipun terhadap peradaban kota.

Lihat saja Ruang publik semakin menyempit. Banyak orang tak beratap. Urbanisasi semakin tajam (kalau udah sumpek, paling ujung-ujungnya program transmigrasi). Kemacetan dimana-mana. Masyarakat sudah tak bisa lagi membedakan antara trotoar dan jalan raya, semua disabotase. Kriminalitas merajalela. Kesenjangan semakin meluas. Pengangguran semakin terbuka. Ada gap atau segragasi antar kelas, gender, kelompok agama, dan ras. Lengkap sudah.

Percayalah, sepanjang pola pembangunan kota Jakarta masih berwajah “kolonialisme dan Soehartoisme”, persoalan Jakarta akan selalu complicated. Maka jangan heran, Jakarta saat ini terlihat lebih besar badan daripada makna. Begitu kira-kira kelakar sarkas dari Marco Kusumawijaya, seorang arsitektur, dalam bukunya”Kota Rumah Kita.”

Di Jakarta, kepadatan aktivitas ekonomi membuat kita seperti layaknya mayat berjalan. Jika diumpamakan, kita adalah zombie yang sedang kelaparan. Kita adalah drakula yang sedang haus darah. Kita adalah para pocong yang berlompat-lompat tak ada arah tujuan. Singkatnya, Jakarta sudah berabad-abad menjadi kota mati. Jakarta telah membuat kita tak bernyawa. Antitesis terakhir saya menyatakan bahwa keindahan Jakarta hanya utopia belaka.

Ada paradigma prematur, kemajuan kota kerap diukur dari berapa banyak proyek megastruktur komersial dapat dibangun. Semisal, banyak orang yang mengklaim dengan adanya mal, apartemen, condominium, rumah susun, perumahan cluster, ruko-ruko atau bangunan pencakar langit lainnya kota itu terbilang maju. Benarkah?